BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Dimulai dari peristiwa menggemparkan 11 September 2001
hari kelam bagi Amerika, saat dua pesawat tempur menghantam sepasang gedung
megah WTC, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban.
Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan
menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak
tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika
Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin
Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World
Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih
dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang
lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar,
meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan
massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu
Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam
pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris
mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan
penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka
serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran
ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat
430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang
Amerika Serikat tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden
sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi
kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak
persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan
massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional.
Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002
yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari
300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula
mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk
yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism,Crime and Security Act,
December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada
intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti
Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill dan sebuah pesawat menubruk
pusat keamanan AS Pentagon beberapa menit kemudian.
Sebuah aksi terorisme yang tak pelak menebar ketakutan
di kalangan berbagai pihak, baik dari pihak AS, maupun masyarakat
internasional. Lebih ironisnya lagi, aksi itu dikaitkan dengan Islam, karena
oknnum-oknum yang berperan aktif dalam aksi tersebut memang menggunakan lambang
islam, mulai dari pakaian, perawakan, sampai video pribadi penyeru jihad.
Secara luas, gerakan-gerakan seperti ini disinyalir
sebagai gerakan radikalisme Islam, yang notabennya terus-menerus dikaitkan
dengan wacana kekerasan. Sehingga dapat membuat citra Islam di mata dunia
menjadi semakin buruk, disamping peradaban Islam juga telah mengalami
keterpurukan.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Definisi
Radikalisme
Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis
berasal dari kata dasar radix yang artinya akar (pohon). Radikalisme menurut
bahasa berarti paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dengan cara kekerasan. Kata ini dapat dikembangkan menjadi
kata radikal, yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat,
bahwa orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail
dan mendalam, layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan
kepercayaannya.
Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH.
Tarmidzi Taher memberikan komentarnya tentang radikalisme bermakna positif,
yang memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah (perbaikan), suatu spirit
perubahan menuju kebaikan. Hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara para
pemikir radikal sebagai seorang pendukung reformasi jangka panjang. Jadi, radikalisme
adalah pandangan / cara berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu,
perbaikan, dan perdamaian lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan
masyarakatnya dapat hidup rukun dan tenteram.
Akan tetapi, dalam perkembangannya pemahaman terhadap
radikalisme itu sendiri mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut
pandang yang digunakan, masyarakat umum hanya menyoroti apa yang
kelompok-kelompok radikal lakukan (dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak
pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya mereka cari (perbaikan). Seperti
yang dikemukakan oleh Dawinsha bahwa radikalisme itu sama dengan teroris. Tapi ia
sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme
adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut. Definisi
Dawinsha lebih nyata bahwa radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa
kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan
menggantinya dengan gagasan baru.
- Sejarah
Kemunculan Radikalisme
Munculnya
isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat
Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama
mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena
historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana
politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar
dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label label yang diberikan
oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam
radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan,
fundamentalisme sampai terrorisme. Bahkan di negara-negara Barat pasca
hancurnya ideology komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai
sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang
lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai
radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda Barat atas Islam sebagai
agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.
Label
radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat dan sekutu-sekutunya dengan
sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan perlawanan rakyat Palestina,
Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan
Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan,
gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim
Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya, adalah
fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkampanyekan label radikalisme
Islam.Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya
terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan
untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara
kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.
Menurut Ketua
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Ahmad Bagja, radikalisme muncul karena
ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat. Kondisi tersebut bisa saja
disebabkan oleh negara maupun kelompok lain yang berbeda paham, juga keyakinan.
Pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil, lalu melakukan perlawanan.
Radikalisme tak jarang menjadi pilihan bagi sebagian kalangan umat Islam untuk
merespons sebuah keadaan. Bagi mereka, radikalisme merupakan sebuah pilihan
untuk menyelesaikan masalah. Namun sebagian kalangan lainnya, menentang
radikalisme dalam bentuk apapun. Sebab mereka meyakini radikalisme justru tak
menyelesaikan apapun. Bahkan akan melahirkan masalah lain yang memiliki dampak
berkepanjangan. Lebih jauh lagi, radikalisme justru akan menjadikan citra Islam
sebagai agama yang tidak toleran dan selalu menggunakan kekerasan.
Cendekiawan
Muslim, Nazaruddin Umar, mengatakan radikalisme sebenarnya tak ada dalam
sejarah Islam. Sebab selama ini Islam tak menggunakan radikalisme untuk
berinteraksi dengan dunia lain. ‘’Dalam sejarahnya, Nabi selalu mengajarkan
umatnya untuk bersikap lemah lembut,’’ tegasnya. Nazaruddin menambahkan bahwa
ajaran Islam yang masuk ke Indonesia juga dibawa dengan cara yang sangat
damaipun penyebaran Islam yang terjadi di Negara lainnya. Ini sangat berbeda
dengan negara-negara lain, terutama imperialis.
Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran
kelompok fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua faktor, yaitu:
- Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks
keagamaan, dalam melakukan “perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi
teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. Untuk
kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam (termasuk
indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical
sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang
teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap
eksklusivisme dan ekstrimisme ini. Seperti ayat-ayat yang menunjukkan
perintah untuk berperang seperti; Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka
tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S. Attaubah: 29). Menurut
gerakan radikalisme hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak
kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at, bentuk memerangi kepada
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan lain sebagainya.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini
mengalami frustasi yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita
berdirinya ”Negara Islam Internasional” sehingga pelampiasannya
dengan cara anarkis, mengebom fasilitas publik dan terorisme.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan
radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah
solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi
hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan
agama (wahyu suci yang absolut). Hal ini terjadi pada peristiwa pembantaian
yang dilakukan oleh negara Israel terhadap palestina, kejadian ini memicu
adanya sikap radikal di kalangan umat islam terhadap Israel, yakni menginginkan
agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor
impor.
- Faktor eksternal
Faktor eksternal terdiri dari beberapa
sebab di antaranya:
a. Aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari
nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-negara islam gagal
menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Rezim-rezim itu bukan
menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan
menyengsarakan rakyat. penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan
serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global
dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah
jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar
baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang meluas
hingga melanggengkan kehadiran fundamentalisme islam. Karena itu,
fundamentalisme dalam islam bukan lahir karena romantisme tanah (seperti
Yahudi), romantisme teks (seperti kaum bibliolatery), maupun melawan
industrialisasi (seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena kesadaran
akan pentingnya realisasi pesan-pesan idealistik islam yang tak dijalankan oleh
para rezim-rezim penguasa.
b. Aspek budaya, aspek ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi
kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang
harus dihilangkan dari bumi.
c. Aspek sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan
masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih
maraknya radikalisme di kalangan umat islam.
- Radikalisme dalam
Perspektif Fiqih
Diantara keistimewaannya, fiqih Islam memiliki keterikatan yang kuat dengan
keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah
yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan
seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk
menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak
beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak
memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka
berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari
keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para
hambaNya.
Kekerasan dalam bentuk perang bukan dimulai oleh umat Islam sendiri. Begitu
pula dalam sejarah perjuangan nabi Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan
lainnya bukanlah umat Islam yang mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya.
Umat Islam justru diperintahkan untuk tetap berbuat baik kepada siapa pun,
termasuk kepada non-muslim yang dapat hidup rukun. Mengenai hal ini, Allah juga
berfirman dalam surah Al Mumtahanah ayat 8 dan 9 ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung-kampungmu sebab Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya
melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan
mengusir kamu dari kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir
kamu ,barangsiapa bersahabat dengan mereka maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim”.
- Fakta-fakta aksi kekerasan dan implikasinya
dalam masyarakat
Berbicara
tentang radikalisme, lebih-lebih fundamentalisme, tak mungkin menafikan adanya
aksi-aksi yang memang berasaskan kekerasan, pemaksaan, bahkan pembinasaan.
Salah satunya adalah Pemboman-pemboman yang dilakukan di Paris oleh
kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai islam bersenjata telah
memperburuk ketegangan-ketegangan di Prancis dan menambah jumlah dukungan untuk
mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai dengan budaya Prancis, apa itu
budaya yahudi-kristen atau budaya sekuler, dan apabila muslim dapat menjadi
warga negara Prancis yang sejati dan loyal. Penasehat menteri dalam negeri
tentang imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini, memang benar-benar terdapat
ancaman Islam di Prancis itu adalah bagian dari gelombang besar fundamentalisme
muslim dunia.
Di tengah-tengah
perdebatan Prancis terhadap suatu kecenderungan untuk melihat islam sebagai
agama asing, menempatkannya sebagai agama yang bertolak belakang dengan tradisi
Yahudi-Kristen. Sementara banyak orang menekankan proses asimilasi yang
menyisakan hanya sedikit ruang untuk pendekatan multikultural, sebagian yang
lain berpendapat bahwa muslim harus diizinkan untuk mengembangkan identitas
muslim Prancis yang khas yang mencampur antara nilai-nilai asli ke-Prancis-an,
dengan akidah dan nilai-nilai islam.
Realita lain
yang dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap terorisme oleh
AS, yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung WTC dan Pentagon
merupakan tamparan berat buat AS. Maka, agar tidak kehilangan muka di dunia
internasional, rezim ini segera melancarkan “aksi balasan” dengan menjadikan
Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya.
Benturan peradaban antara
Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi AS (dan Inggris) ke Afghanistan dan
Irak disambut gembira oleh umat Kristiani. Faktanya ribuan rakyat di berbagai belahan dunia Barat justru
menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab ini. Begitu
ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut mengutuknya.
Meskipun reaksi di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak simpati
terhadap peristiwa 11 September itu. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, rakyat
di sana tidak pernah menikmati kemajuan sekalipun sumber daya alam mereka yang
sudah habis dikuras. China juga bersikap kurang lebih sama dengan Amerika Latin
ini. Pasalnya mereka justru menganggap adalah AS sendiri yang bersikap hostile karena
surplus perdagangan bilateral memang berada di pihak China. Akhirnya China,
oleh AS, justru dianggap sebagai pesaing strategis ketimbang mitra strategis
dalam ekonomi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dipandang dari sisi positif, Radikalisme adalah
pandangan/cara berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu,
perbaikan, dan perdamaian lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan
masyarakatnya dapat hidup rukun dan tentram. Sedangkan jika dipandang dari sisi
negatif, radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan
yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya
dengan gagasan baru. Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran
kelompok fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua faktor,
yaitu: faktor internal dan faktor
eksternal. Kekerasan dalam bentuk perang bukan dimulai oleh umat Islam sendiri.
Begitu pula dalam sejarah perjuangan nabi Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan
lainnya bukanlah umat Islam yang mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya.
Umat Islam justru diperintahkan untuk tetap berbuat baik kepada siapa pun,
termasuk kepada non-muslim yang dapat hidup rukun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar